Hubungan
al-Sunnah dengan Al-Qur’an
MAKALAH
Di
buat untuk memenuhi tugas mata kuliah: Ulumul Hadits
Dosen
pengampu: Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, M.A
Oleh:
1. Hadi Prasetyo (113511045)
2. Imroatun Ni’mah (113511046)
3. Lia Fitriana (113511047)
FAKULTAS
TARBIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2012
I.
PENDAHULUAN
Agama Islam merupakan
agama yang sempurna. Di dalamnya terdapat sumber-sumber hukum pokok yang
menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia, yaitu Al-Quran dan al-Sunnah. Al-Qur’an
menjadi dasar hukum yang pertama dan Al-Sunnah adalah sumber kedua setelah
setelah Al-Quran dimana al-Sunnah memegang peranan yang sangat penting terhadap
pemahaman mengenai Al-Qur’an dan juga perkembangan umat islam saat ini.
Mengingat begitu pentingnya kedudukan al-Sunnah terhadap Al-Qur’an, maka dalam makalah
ini akan diuraikan tentang bagaimana fungsi al-Sunnah terhadap Al-Qur’an pada
masa Nabi Muhammad SAW dan sesudahnya? Bagaimana sikap muslim dalam beramal
dengan al-Sunnah? Apa itu ingkar al-Sunnah dan bagaimana bantahan ulama’
terhadapnya? dan Bagaimanakah seharusnya umat muslim mendudukkan al-Sunnah?
II.
PEMBAHASAN
A. Fungsi al-Sunnah Terhadap Al-Qur’an pada
Masa Nabi Muhammad SAW dan Sesudahnya
Al Quran
merupakan kalam Allah yang kandungannya ada yang bersifat ijmali (global
atau umum) dan tafshili (detail atau terinci). Agar dapat diaplikasikan,
maka hal-hal yang bersifat global dan umum tersebut memerlukan
penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai petunjuk dan
kaidah hidup manusia. sehingga dari kedudukan di atas peranan al-Sunnah ibarat
dua sisi dari mata uang[1]. Jadi
antara Al-Qur’an dan al-Sunnah terdapat hubungan saling berkesinambungan, Keduanya merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat saling dipisahkan.
Terdapat beberapa
pendapat tentang penjelasan fungsi al-Sunnah terhadap Al-Qur’an yang
dikemukakan oleh Muhaditsun. Namun, pada intinya yang mereka kemukakan
adalah sama. Secara garis besar, fungsi al-Sunnah terhadap Al-Qur’an adalah
sebagai berikut:
1.
Bayan at-Taqrir,
yaitu al-Sunnah berfungsi sebagai
penjelas untuk mengokohkan atau memperkuat apa yang terkandung dalam Al-Qur’an[2].Sunnah rosul yang berbunyi :
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْالِرُؤْيَتِهِ رواهالبخارى ومسلم
عن ابي هريرة
“Berpuasalah kamu sesudah melihat Bulan dan berbukalah
(berhari rayalah) kamu sesudah melihat Bulan”. (Riwayat Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
merupakan penguat atau pengokoh terhadap ayat al-Qur’an
yang berbunyi :
شَهْرُرَمَضَا نَ الَّذِيْ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاَنُ
هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَا تٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَالْيَصُمهُ,,الاية..البقرة
“Bulan Ramadhan, bulan yang didalamnya diturunkan
(permulaan) al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barang
siapa di antara kamu melihat bulan, maka hendaklah ia berpuasa...”
(al-baqoroh :185)
2.
Bayan al-Tafsir,
yaitu al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan atau penerang terhadap ayat-ayat yang
mujmal (global) dan musytarak (dobious: satu lafadz yang mengandung beberapa
makna)[3].Sunnah
Rosul yang berbunyi :
صَلُّوْا كَمَارَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّى. رواه البخارى ومسلم وغيرهما
“Bershalatlah kamu, sebagaimana kamu melihat aku bershalat”. (Riwayat
Bukhari-Muslim, dan lain-lain)
Merupakan
penjelasan terhadap firman Allah yang bersifat global (mujmal) yang
memerintahkan orang-orang mukmin untuk mendirikan shalat.
3.
Bayan al-Tasyri’,
yakni mengadakan suatu hukum yang ditetapkan oleh
al-Qur’an[4].
Misalnya Sunnah yang menyatakan:
...وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النِّسَبِ.
متفق عليه عن ابى عبّاس
“...dan keharaman mengawini wanita karena sebab susuan, sama
dengan keharaman mengawini wanita karena pertalian darah (keturunan). (muttafaqun
‘alaih dari Ibnu Abbas)
Sunnah Rosul yang
berbunyi :
عَنْ اَبِى اَمَامَةَ قَالَ : سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص.م. يَقُوْلُ اِنَّ
اللَّهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِىْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. رواه
ابوا داود والترمذى وابن ماجه واحمد
“ dari Abi Amamah berkata : saya telah mendengar Nabi saw
bersabda : Sesungguhnya Allah telah menentukan hak tiap-tiap ahli waris, maka
dengan ketentuan itu tidak ada hak wasiat lagi bagi seorang ahli waris”. (Riwayat Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah dan Ahmad)
Merupakan pengganti
(nasakh) terhadap hukum wasiat yang dikemukakan dalam firman Allah :
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًان
الْوَصِيَّةُ لِلْوّالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِ ج حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ.البقرة
"
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di
antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut , jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf(adil dan
baik). (Hal ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”. (Al-baqoroh:180)
B. Sikap Muslim dalam Beramal dengan
Al-Sunnah
Mengamalkan
al-Sunnah
yang benar-benar termasuk yang diterima dari
Nabi Muhammad SAW di dalam kehidupan adalah kewajiban setiap muslim dalam
kehidupan beragama. Ketentuan
mengenai hal ini cukup jelas tertuang baik di Al-Quran maupun Al-Sunnah[6],
keduanya terkait pertimbangan perlunya mengamalkan ajaran Islam secara utuh di
dalam kehidupan, karena ketentuan itu sudah jelas-jelas disebutkan. Hal-hal
yang halal dan yang haram sudah diatur dalam kehidupan beragama.
Al-sunnah yang memiliki kedudukan yang sangat penting terhadap Al-Qur’an
merupakan pokok-pokok ajaran agama yang hadir di tengah-tengah umat untuk
diamalkan. Namun pada kenyataannya, nash al-Sunnah yang sudah jelas tersebut
ternyata masih saja ada segolongan muslim yang mempermasalahkan. Mereka bahkan
secara terang-terangan menyatakan anti terhadap al-Sunnah dan menyebut dirinya
sebagai golongan ingkar al-Sunnah. dalam realitas yang ada sekarang ini,
ternyata juga masih saja ada muslim yang salah dalam memahami al-Sunnah. Ada
yang berpandangan bahwa al-Sunnah secara kognitif yes, sedangkan secara
afektif dan psikomotorik no. Anehnya, orang yang seperti ini lalu
semaunya dalam beragama, hingga kadang sudah lupa bahwa dalam dirinya ada
kewajiban sholat yang mesti dikerjakan[7].
C. Ingkar al-Sunnah dan Bantahan Ulama’
Walaupun telah
jelas dalil-dalil dan alasan-alasan yang menunjukkan bahwa al-Sunnah itu merupakan salah satu sumber hukum Islam,
akan tetapi ada juga segolongan kecil dari umat Islam yang menolak kehujahan
al-Sunnah sebagai sumber syari’at Islam. Kemudian mereka ini menamakan diri
mereka sebagai golongan ingkar al-Sunnah. Imam Syafi’i dalam kitabnya “Al-Umm”,
meskipun tidak secara jelas menyebut nama-nama golongan atau orang yang menolak
al-Sunnah, tetapi beliau telah menggolongkan yang menentang al-Sunnah tersebut
kepada tiga golongan[8],
yaitu:
1. Golongan yang menolak al-Sunnah
seluruhnya, baik yang muttawatir maupun yang ahad. Menurut Abu Zahrah, mereka
itu adalah kaum Zindiq dan sebagian dari Khawarij.
2. Golongan yang menolak al-Sunnah, kecuali
jika al-Sunnah tersebut ada persamaannya dengan Al-Qur’an.
3. Golongan yang menolak al-Sunnah yang
Ahad sebagai hujjah. Maksudnya adalah golongan ini masih mau menerima al-Sunnah
sebagai hujjah, tetapi hanya yang muttawatir saja, sedangkan yang Ahad mereka
tolak. Menurut Muhammad Abu Zahwu dalam kitabnya “Al-Hadits wal Muhadditsun”
menyebutkan bahwa yang termasuk dalam golongan ini adalah golongan Qadiriyah,
Rafidlah, dan sebagian madzhab Adh-Dhahiry.
Alasan alasan
yang digunakan oleh golongan yang menolak al-Sunnah di atas, diantaranya
adalah:
1. Argumen Naqli
Firman Allah yang berbunyi:
$uZø9¨tRur øn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« …..
…dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk
menjelaskan segala sesuatu ……(an-Nahl: 89)
Menurut para pengingkar sunnah, Al-Qur’an
itu telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan ketentuan agama,
sehingga tidak diperlukan adanya keterangan lain, misalnya al-Sunnah[9].
Dengan demikian, kehadiran al-Sunnah tidak dibutuhkan, karena dasar-dasar dan
penjelasan dari Al-Qur’an sudah lengkap dan mencakup semuanya.
2. Argumen non-Naqli
Seandainya
al-Sunnah itu sebagai dasar atau sumber hukum, tentunya Rasulullah SAW sejak
hidupnya telah memerintahkan para sahabatnya untuk menulis seluruh Sunnah
beliau agar tidak hilang dan dilupakan orang. Akan tetapi kenyataannya,
Rasulullah tidak melakukan hal tersebut. Oleh karena itu, al-Sunnah terpaksa
diterima secara dzanny pada umumnya oleh kaum muslim, sedangkan yang dzanny
tidak sah untuk berhujjah.
Menaggapi para
pengingkar al-Sunnah tersebut, maka para Ulama’ membantah dengan argumentasi
sebagai berikut:
1. Bantahan terhadap argumen Naqli
Argumen naqli yang diajukan oleh para
pengingkar al-Sunnah untuk menolak al-Sunnah sebagai salah satu sumber ajaran
islam adalah lemah sekali[10].
Dalam Q.S Al Nahl:89 yang telah disebutkan di atas tidak menyebutkan bahwa
al-Sunnah tidak diperlukan. Al-Qur’an menerangkan segala sesuatu yang sifatnya
masih umum, sehingga diperlukan penjelasan dan penafsiran dari Al-Sunnah.
2. Bantahan terhadap argumen non Naqli
Tentang
Rasulullah SAW tidak memerintahkan untuk menulis seluruh hadis beliau kepada
para sahabat, bukukan anlah suatu alasan hadis tidaklah berkedudukan sebagi
dasar hukum islam. Sikap Rasulullah tentang Sunnahnya yang demikian itu, yakni
tidak memerintahkan kepada para Sahabat untuk mengumpulkan dan memerintahkan
kepada para sahabat untuk mengumpulkan dan menulisnya dalam satu mushaf, justru telah
bertujuan untuk memelihara kemurnian Al-Qur’an.
D. Bagaimana Seharusnya Muslim Mendudukan
al-Sunnah
Al-Sunnah
yang dapat diartikan sebagai laporan sesuatu yang dihubungkan kepada Nabi
Muhammad SAW berupa pernyataan, perbuatan, penetapan, dan persifatan atau
perilaku Nabi, merupakan dokumen penting ajaran keagamaan dan sekaligus sumber
ajaran agama Islam bagi kehidupan. Dalam perkembangannya, umat yang sadar
bersama Muhadditsun mengawal al-Sunnah itu di samping sebagai tradisi
yang dilestarikan, juga sebagai ajaran untuk dilaksanakan[11].
Untuk itu, mendudukkan al-Sunnah secara benar dalam kehidupan akan menjadikan
umat Muslim lebih mantap akan keyakinannya dalam beragama.
Pada
era modern ini, pengkajian dan penelitian tentang al-Sunnah sudah banyak
dilakukan. dari kenyataan ini diperoleh bahwa para Muhadditsun sudah memberi
respon positif bagi kehidupan umat. Respon ini berupa menjaga keaslian
al-Sunnah, baik dalam statusnya sebagai sumber ajaran yang haris dilestarikan,
maupun dari wacana yang dapat membuat umat meragukan keaslian al-Sunnah
sehingga membuatnya surut dalam beramal. Beberapa golongan ingkar al-Sunnah
sudah seharusnya menyadari akan kekeliruannya dan kembali kepada ajaran
al-Sunnah. Dilain hal, tidak pantas seorang
muslim yang mendengarkan al-Sunnah yang shahih, kemudian menolaknya dengan
berbagai macam alasan hawa nafsunya. Allah mengancam orang yang menyelisihi
Nabi-Nya setelah jelas sunnah baginya. Allah berfirman bahwa barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami
biarkan ia leluasa dia terhadap kesesatannya yang telah dikuasainya itu dan
kami masukkan ia ke dalam Jahannam[12].
III.
SIMPULAN
A. fungsi as-Sunnah terhadap
Al-Qur’an
Ada beberapa Ulama’
yang mengemukakan fungsi-fungsi as-Sunnah
terhadap Al-Qur’an, yang kesemuanya
mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Namun dari kesemuanya itu, fungsi-fungsi
as-Sunnah dapat dperinci sebagai berikut: 1). Bayan al-Taqrir, 2). Bayan
al-Tafsir, 3). Bayan al-Tasyri’, dan 4). Bayan an-Nasakh.
B. Sikap Muslim dalam Beramal dengan as-Sunnah
Terdapat
berbagai tipe umat muslim dalam mengamalkan al-Sunnah. ada golongan yang
mengamalkan al-Sunnah secara keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari, ada yang
hanya mengamalkannya sebagian saja, dan ada pula yang tidak mau mengamalkannya
sama sekali (menolak al-Sunnah atau sering disebut golongan ingkar al_sunnah).
C. Ingkar as-Sunnah dan Bantahan Ulama’
Ingkar al-Sunnah
adalah golongan muslim yang menolak kehujjahan al-Sunnah. golongan ini tidak
mau menerima al-Sunnah sebagai pedoman hidup. Mereka menganggap bahwa Al-Qur’an
sudah cukup sebagai pedoman hidup, sehingga tidak memerlukan penjelasan lagi
dari al-Sunnah. bantahan ulama’ terhadap argument para pengingkar al-Sunnah
menyatakan bahwa dalam Al-Qur’an masih terdapat ayat-ayat yang bersifat umum
dan perlu penjelasan serta penafsiran yang lebih rinci, sehingga al-Sunnah
menjadi dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an.
D. Sikap muslim semestinya
dalam beramal dengan al-Sunnah
Umat muslim
sudah semestinya mendudukkan al-Sunnah secara berdampingan dengan Al-Qur’an
sebagai pedoman hidup. Umat muslim juga harus dapat menjaga keaslian al-Sunnah,
sehingga tidak timbul lagi golongan golongan yang mengingkari al-Sunnah.
IV.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami buat, semoga dapat bermanfaat untuk menambah wacana. Tentunya
dalam makalah ini masih ada kesalahan dalam berbagai hal, untuk itu kami masih
perlu kritik dan saran dari pembaca. Sehingga kedepannya menjadi lebih baik lagi.
DARTAR
KEPUSTAKAAN
Ismail,
M.Syuhudi, Hadits Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya,
jakarta : gema Insani Press, 1995
Ismail,
M.Syuhudi, pengantar Ilmu Hadits, bandung : Angkasa, 1987
Soebahar,
M.Erfan, aktualisasi Hadis Nabi di Era Teknologi Informasi, semarang :
Rasail Media Group, 2008
[1] Moh. Erfan Soebahar, Aktualisasi
Hadits Nabi Di Era Teknologi Informasi, Semarang: Rasail Media Group,
hal.24
[2] M Suhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits, Bandung: Angkasa,
hal:55
[3] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,Bandung: Angkasa,
1991, hal: 56
[4] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,Bandung: Angkasa,
1991, hal: 58
[5] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,Bandung: Angkasa,
1991, hal: 57
[6] Moh. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi
Informasi, Semarang: Rasail Media Group, hal. 53
[7] Moh. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi
Informasi, Semarang: Rasail Media Group, hal. 54
[8] M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadits,Bandung: Angkasa,
1991, hlm.52
[9] M. suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press,1995), hal:16
[10] M. suhudi Ismail, Hadits Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan
Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press,1995), hal: 22
[11] Moh. Erfan Soebahar, Aktualisasi Hadits Nabi Di Era Teknologi
Informasi (Semarang: Rasail Media Group,2008), hal. 56
[12] Baca Al-Qur’an surat An-Nisa’: 115
Tidak ada komentar:
Posting Komentar